Jakarta – Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) meledakkan kritik keras dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, Senin lalu. Dalam forum resmi tersebut, HAPI secara lugas menyatakan bahwa RUU KUHAP 2025 masih menyisakan ketimpangan serius terhadap peran advokat dalam sistem peradilan pidana nasional.

“Cukup sudah advokat jadi penonton di ruang penyidikan dan ruang sidang! Kami bukan figuran dalam drama hukum,” tegas Ketua Umum HAPI, Dr. Enita Adyalaksmita, dalam pernyataan resminya.

HAPI menyambut baik beberapa pasal yang telah mengakomodasi perlindungan bagi profesi advokat, seperti Pasal 140 ayat (2) soal imunitas hukum dan penghapusan pembatasan publikasi perkara (Pasal 142 ayat (3). Namun, mereka menilai itu belum cukup.

Salah satu sorotan tajam HAPI adalah Pasal 33 RUU KUHAP yang hanya memberi peran “melihat dan mendengar” kepada advokat saat kliennya diperiksa. “Kami hanya jadi pendengar bisu. Padahal, BAP bisa jadi alat hukum yang menentukan nasib klien hingga ke Mahkamah Agung,” kata Dr. Tasrif, Ketua OKK HAPI.

Tak berhenti di situ, HAPI mengultimatum agar Pasal 90 ayat (2) segera direvisi karena membuka peluang bagi penyidik menangkap seseorang tanpa batas waktu yang jelas, hanya dengan alasan “keadaan tertentu”. “Ini pasal karet yang bisa menghancurkan prinsip keadilan. Jangan sampai KUHAP baru justru membuka pintu kriminalisasi!” seru HAPI.

HAPI juga mengecam keras Pasal 16 ayat (1) huruf e dan f tentang penyamaran dan pembelian terselubung oleh aparat. “RUU ini justru memberi ruang praktik jebakan. Ini seperti melegalkan kriminalisasi oleh negara atas nama penyelidikan,” ujar Dr. Hilman Himawan, Wasekjen HAPI.

Lebih dari sekadar kritik, HAPI mendesak dibentuknya Dewan Etik Nasional Advokat agar seluruh organisasi advokat tunduk pada satu sistem etik yang terdaftar di bawah Mahkamah Agung. “Profesi kami tidak boleh liar, tapi juga tidak boleh dikerdilkan oleh aturan yang pincang.”

RUU KUHAP 2025 sedang memasuki fase krusial. Namun jika suara advokat terus diabaikan, maka hukum di negeri ini akan tetap timpang: tajam ke bawah, tumpul ke atas. (Red)



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *